Sekali-sekali menulis artikel. Pernah kerja di Tokopedia selama 7 tahun. Pernah juga bertualang di bidang fintech, streaming platform, dan sekarang di blockchain.
Pada hari Selasa, tanggal 2019-06-18 kemarin, Facebook baru saja meluncurkan Libra, sebuah mata uang digital baru yang menggunakan teknologi blockchain.
Di artikel ini saya akan mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan umum yang mungkin muncul bagi yang masih awam mengenai dunia blockchain / cryptocurrency.
Bertahun-tahun yang lalu, saya tergolong orang yang sangat suka membaca. Ketika sedang getol-getolnya, saya bisa membaca 50 buku dalam satu tahun.
Salah satu memori yang paling saya ingat sampai sekarang adalah ketika dulu Papa saya nemenin cari buku Harry Potter and the Goblet of Fire sampai ke 4 toko buku, namun kehabisan semua. Hingga pada akhirnya ketemu juga di salah satu Gramedia di Jakarta Utara. Itupun sisa satu buku dan dalam keadaan sedikit rusak. Tapi tetap dibelikan karena sudah tidak sabar mau baca. Thank you Papa.
DNS (Domain Name System) itu seperti buku telepon digital. Kita kan sudah terbiasa mengunjungi situs dengan alamat seperti https://www.google.com/, namun alamat sebenarnya Google (salah satunya) adalah 172.217.194.138. Namun angka-angka seperti itu kan susah diingat, jadi harus ada yang menghubungkan alamat google.com dengan alamat full angka tersebut, itulah fungsi DNS.
Kenyataannya adalah, koneksi DNS sekarang ini banyak sekali yang tidak terlindungi dengan baik. Penyedia layanan internet kita juga sebenarnya memiliki DNS mereka masing-masing dan mereka memiliki akses ke sejarah browsing kita semua dengan membaca kegiatan DNS ini.
Di artikel tersebut topik bahasannya lebih kepada enkripsi DNS di perangkat masing-masing pengguna internet.
Nah, sebenarnya ada cara untuk mengamankan DNS satu level di atas itu.
Rata-rata Penjual online di Marketplace yang ramai itu bisa memiliki ratusan produk di toko mereka. Karena jumlah produk yang cukup banyak, para Penjual sering kesulitan untuk senantiasa memperbarui informasi stok produk mereka. Hal ini biasanya membuat para Penjual sering harus membatalkan pesanan karena ternyata stok barang sudah habis.
Bagaimana Marketplace bisa memperbaiki situasi ini melalui UI /UX yang lebih baik? Di post kali ini saya ingin berbagi tentang pemikiran saya.
Internet, sebuah kemajuan teknologi yang sudah menjadi kebutuhan pokok banyak orang modern. Bahkan banyak yang bercanda bahwa internet itu lebih penting ketimbang makan atau minum. Dari satu dekade lalu sebenarnya memang sudah ada internet, tapi akses utamanya masih menggunakan PC atau laptop tebal nan berat, bukan sesuatu yang bisa dengan mudah dibawa kemana-mana (ketika sedang BAB di toilet misalnya). Beda banget sekarang sejak smartphone Android dan iOS booming di mana-mana.
Bukan hanya masalah perangkatnya, tapi lihat juga layanan-layanan canggih yang berhasil membangun sistem mereka di atas pondasi internet dan sukses mempermudah hidup banyak orang seperti Tokopedia, Go-Jek, Grab, Traveloka, Wikipedia, Google, Facebook, WhatsApp, Instagram, Spotify, Netflix, dll.
Sayangnya satu sifat utama dari internet yang berjasa untuk membuat internet menjadi internet yang kita kenal selama ini, kini terancam punah: netralitas net.
Di bagian pertama, saya sharing tentang cara saya mencoba melindungi keamanan koneksi internet yang saya gunakan. Di bagian kedua ini saya coba sharing tentang cara saya mencoba mengurangi potensi pengambilan data pribadi dari sisi browsing menggunakan internet browser.
Sebelum ini saya suka menggunakan internet browser Google Chrome, karena dulu Chrome sangat ringan dan cepat. Namun Chrome sebenarnya mengumpulkan cukup banyak data mereka ke Google. Di sisi positifnya, Google sebenarnya cukup terbuka mengenai hal ini, mereka menjelaskan secara detil data apa saja yang mereka kumpulkan. Chrome memberikan opsi untuk mematikan fitur-fitur yang mengirimkan data ke Google, tapi saya yakin kebanyakan orang tidak akan melakukan hal ini.
Secara general, Mozilla Firefox lebih perduli terhadap privacy para penggunanya. Mereka juga biasanya cepat tanggap atas peristiwa yang menyangkut hal ini, contohnya adalah ketika kasus Cambridge Analytica dan Facebook mulai heboh di awal tahun ini, tidak lama kemudian Mozilla Firefox mengeluarkan Facebook Container Extension, untuk mengkarantina tab-tab browser yang mengunjungi platform Facebook dari tab-tab yang lain untuk mengurangi daya tracking Facebook.
Di era digital zaman now, privacy jadi semakin susah. Hampir semua service/device modern yang kita pakai banyak sekali mengumpulkan data pribadi kita untuk dijadikan sumber penghasilan banyak perusahaan teknologi. Sebut saja Google dan Facebook, jualan utama mereka adalah data pengguna platform mereka yang ditawarkan ke penawar tertinggi untuk ditampilkan iklannya ke para pengguna Google dan Facebook.
Jujur saja, saya kalau melihat dari sisi pelaku bisnis, juga suka melihat data seperti itu. Dulu di Tokopedia, sebagai salah satu yang menginisiasi fitur recommendation engine, melihat bahwa Tokopedia memiliki data aktifitas pengguna yang luar biasa menarik. Bisa diolah untuk memberikan layanan yang lebih baik dan bisa berguna untuk user itu sendiri. Ketika recommendation engine akhirnya rilis, cukup banyak orang melakukan pembelian dari produk-produk yang ditawarkan oleh recommendation engine tersebut. Artinya data pengguna berhasil diolah menjadi sesuatu yang berguna untuk mereka kembali.
Tapi, sebagai pribadi, rasanya risih kalau data penggunaan saya dipakai oleh pihak ketiga seperti itu. Ironis memang.
Sejak beberapa tahun lalu sebenarnya saya sudah pernah beberapa kali celup-celup kaki mencoba menggunakan Linux sebagai sistem operasi. Tapi sebatas dijalankan dari flashdisk saja untuk coba-coba.
Namun selama ini belum bisa komitmen 100% nyebur menggunakan Linux sebagai sistem operasi utama. Masih ada rasa takut bagaimana kalau ada hal yang hanya bisa saya lakukan di Windows untuk kegiatan sehari-hari.
Disclaimer: Artikel ini memuat link referral. Jangan hanya mengacu ke artikel ini dalam mengambil keputusan berinvestasi, Investasikan juga waktu untuk membaca dari banyak sumber lainnya sebelum mengambil keputusan 🙂
Yang ingin saya bahas berikutnya mungkin tergolong baru di Indonesia, peer-to-peer lending / crowdlending / crowdfunding. Regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai kegiatan pinjam meminjam berbasis IT pun baru diumumkan awal tahun 2017 kemarin.
Disclaimer: Jangan hanya mengacu ke artikel ini dalam mengambil keputusan berinvestasi, Investasikan juga waktu untuk membaca dari banyak sumber lainnya sebelum mengambil keputusan 🙂
Di artikel sebelumnya, saya menceritakan pengalaman dan pendapat saya mengenai deposito dan bursa efek, khususnya index fund. Jadi di kesempatan kali ini saya ingin membahas tentang reksadana dan tabungan.