Netflix baru-baru ini meluncurkan sebuah dokumenter dengan judul The Social Dilemma. Dokumenter ini berisikan wawancara dengan banyak orang-orang hebat yang pernah di perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Facebook, Google, Twitter, Instagram, Pinterest, dst.
Topik utamanya adalah bagaimana banyak produk dari perusahaan-perusahaan ini bertumbuh menjadi sangat besar dalam waktu yang sangat singkat. Dalam proses tersebut, mereka kehilangan kendali dari platform yang mereka ciptakan sendiri.
Hal ini dipengaruhi oleh model bisnis perusahaan-perusahaan tersebut: iklan online.
Perusahaan-perusahaan ini berlomba-lomba untuk meyakinkan bahwa, “Hey, kalau kamu ngiklan di platform saya, pasti hasilnya memuaskan!”
Untuk mencapai hal tersebut, perusahaan-perusahaan tersebut berlomba-lomba menciptakan banyak teknologi canggih dan menerapkannya untuk mempengaruhi kita semua.
Sebagai “bahan bakar” dari teknologi canggih tersebut, perusahaan-perusahaan ini harus mengumpulkan sebanyak mungkin data perilaku online dari kita, para pengguna internet.
Data-data ini digunakan untuk menganalisa kepribadian serta kebiasaan kita. Analisa ini dibuat untuk memperkirakan hal-hal apa yang menarik kita untuk mengambil sebuah tindakan. Entah itu untuk membeli produk / membaca artikel / melihat video / membagikannya ke teman dan keluarga / dan seterusnya.
Dengan menjual perhatian kita sebagai produk, hal inilah yang membuat perusahaan-perusahaan tersebut kaya raya.
Sudah banyak teknologi canggih yang mereka ciptakan untuk mempengaruhi perilaku kita demi keuntungan. Hal ini tentunya bisa digunakan untuk tujuan baik maupun buruk, selama ada yang berani membayar.
Kalau kalian sudah baca beberapa artikel yang saya tulis, mungkin kalian sudah bisa menebak bahwa saya akan banyak setuju dengan dokumenter ini.
Saya tidak ingin munafik. Saya sendiri bekerja di industri digital ini, dan saya rasa semakin sedikit perusahaan yang tidak menggunakan tools-tools yang disediakan oleh Facebook, Google, dll untuk beriklan.
Saya jadi bertanya-tanya, apa ada perusahaan teknologi yang waras, di mana KPI atau metric utama perusahaan itu tidak berhubungan dengan engagement, growth, dan revenue? Orang-orang yang di-interview untuk dokumenter The Social Dilemma ini juga adalah orang-orang hebat yang saya yakin memiliki KPI yang serupa.
Salah satu dari mereka bahkan merasa bahwa ia terjebak menggunakan produk yang dia bantu ciptakan sendiri.
Karena menyadari efek-efek negatif ini, mereka sangat membatasi penggunaan banyak aplikasi komunikasi dan media sosial. Baik untuk diri mereka sendiri maupun untuk keluarga mereka. Bisa dibilang ironis memang.
Saya juga sangat berusaha untuk menggunakan media sosial dan produk-produk teknologi lainnya dengan kesadaran bahwa mereka akan menggunakan banyak trik-trik untuk mempengaruhi cara berpikir dan perilaku saya.
Namun seperti yang dibahas juga di dokumenter ini: saya hanyalah seorang manusia yang “bertarung” melawan ratusan, atau bahkan ribuan engineer-engineer hebat yang dibayar mahal untuk mempengaruhi saya.
Salah satu hal utama yang saya lakukan untuk mengurangi efek negatif dari dunia internet adalah dengan memblokir sebanyak mungkin tracker dan iklan dari dunia digital ini.
Hal-hal lain yang menurut saya juga efektif adalah dengan mematikan sebanyak mungkin notifikasi yang tidak penting, dan uninstall sebanyak mungkin aplikasi media sosial dari smartphone saya.
Jika saya memang ingin mengakses media sosial, saya lakukan dari website mereka saja.
Semenjak saya menonton The Social Dilemma akhir minggu lalu, saya kembali menemukan artikel-artikel baru yang mengkhawatirkan, seperti:
- Artikel mengenai memo internal yang ditulis oleh seorang mantan karyawan Facebook yang dipecat karena khawatir akan kebijakan-kebijakan yang dilakukan (dan tidak dilakukan) oleh Facebook.
- Hate speech yang menyebar di Facebook, mendorong Ethiopia menuju genosida.
- Facebook dituduh memata-matai para pengguna Instagram dengan mengakses kamera smartphone mereka secara diam-diam.
- Pencurian data yang dilakukan oleh salah satu penyedia internet terbesar di Indonesia (Indihome) terhadap para pelanggan berbayar mereka.
Banyak orang di lingkungan saya yang sudah apatis mengenai masalah privasi; tapi saya senang mellhat reaksi netizen menanggapi artikel yang diterbitkan oleh Teguh Aprianto mengenai pencurian data Indihome tersebut.
Harapan saya ke depannya adalah, semoga akan ada lebih banyak lagi orang yang melek dan peduli akan privasi mereka di internet. Semoga juga akan banyak terjadi perubahan-perubahan permanen lainnya yang sifatnya positif, terutama dari sisi regulasi pemerintah.
Saya melhat Indonesia masih sangat lemah dalam hal perlindungan data konsumen. Sering sekali terjadi kasus pembobolan data, tanpa ada konsekuensi berarti yang terdengar.
Mungkin suara saya masih kecil dan belum bisa berpengaruh banyak, tapi semoga artikel-artikel saya mengenai masalah privasi tetap bisa membantu orang-orang yang membacanya.
Sebelum kamu pergi
Kalau kamu suka dengan artikel ini, gunakan tombol-tombol di bawah untuk membagikan artikel ini ke teman-teman kamu, dan daftarkan email kamu untuk mendapatkan update jika ada artikel baru.
Kalau menunggu para perusahaan besar dan regulasi pemerintah terkait privacy data kita ini berubah itu masih lama, para pengguna internet (dalam hal ini social media yang disoroti ya) aja yang diberi kesadaran tentang ini, belajar tentang digital literacy (atau lebih baik lagi, literacy in general), uninstall apps yang gak perlu, cek permission semua apps dan uncheck yang gak perlu, serta batasi notifikasi.
Setuju banget 😀 harus dimulai dari diri masing-masing 🙂
Jangan sembarangan kasih akses ke aplikasi itu juga saran yang bagus banget.