Netralitas Net di Indonesia

Internet, sebuah kemajuan teknologi yang sudah menjadi kebutuhan pokok banyak orang modern. Bahkan banyak yang bercanda bahwa internet itu lebih penting ketimbang makan atau minum. Dari satu dekade lalu sebenarnya memang sudah ada internet, tapi akses utamanya masih menggunakan PC atau laptop tebal nan berat, bukan sesuatu yang bisa dengan mudah dibawa kemana-mana (ketika sedang BAB di toilet misalnya). Beda banget sekarang sejak smartphone Android dan iOS booming di mana-mana.

Foto yang diambil di kota Vatican. Foto atas diambil ketika Paus John Paul II meninggal, dan foto bawah diambil ketika Paus Francis muncul di depan publik untuk pertama kalinya.

Bukan hanya masalah perangkatnya, tapi lihat juga layanan-layanan canggih yang berhasil membangun sistem mereka di atas pondasi internet dan sukses mempermudah hidup banyak orang seperti Tokopedia, Go-Jek, Grab, Traveloka, Wikipedia, Google, Facebook, WhatsApp, Instagram, Spotify, Netflix, dll.

Sayangnya satu sifat utama dari internet yang berjasa untuk membuat internet menjadi internet yang kita kenal selama ini, kini terancam punah: netralitas net.

Internet dari dulu digadang sebagai pemerata lapangan bermain yang paling hebat. Sebuah konsep tentang keadilan dimana semua orang harus bermain dengan peraturan yang sama.

Konsep ini yang membuat banyak anak-anak kuliahan bisa berhasil mengguncang dunia persilatan di era modern ini. Dua contoh yang paling terkenal itu Google dan Facebook. Mungkin sudah banyak yang tahu kalau Google itu dimulai oleh Larry Page dan Sergey Brin ketika mereka masih kuliah di Stanford University. Facebook dibuat oleh Mark Zuckerberg dan Eduardo Saverin ketika masih kuliah di Harvard University.

Google berhasil menang dari AltaVista, mesin pencarian yang memiliki headstart 3 tahun dan sempat menjadi mesin pencarian paling populer di dunia. Sedangkan Facebook berhasil menang melawan Friendster dan MySpace, di mana MySpace adalah platform media sosial terbesar di dunia dari tahun 2005 hingga 2009.

Kalau versi lokalnya, ada William Tanuwijaya, penjaga warnet yang sukses jadi bos Tokopedia. Di Indonesia Tokopedia berhasil bertahan melawan gempuran perusahaan-perusahaan kelas dunia seperti eBay dan Rakuten dan menjadi salah satu perusahaan unicorn (perusahaan dengan valuasi lebih dari 1 milyar USD) dari Indonesia.

Para pemain baru ini berhasil menang melawan saingan-saingan mereka yang lebih besar dan lebih senior karena internet itu sifatnya netral, siapapun yang memiliki ide dan eksekusi yang lebih baik lah yang akan menang, meskipun jika mereka awalnya hanya anak kuliahan.

Jadi apa sih yang sebenarnya dimaksud dengan netralitas net?

Singkatnya, netralitas net/internet netral/net neutrality adalah sebuah konsep yang menyatakan bahwa semua data di internet itu harus diperlakukan secara sama tanpa diskriminasi.

Jadi dalam mengakses apapun di internet, baik itu membaca berita, mencari resep masak, belanja online, pesan ojek online, nonton video, mendengarkan musik, dst, arus data tidak boleh dibeda-bedakan oleh penyedia layanan internet.

Mungkin perbandingan yang paling dekat itu dengan listrik. Kebanyakan dari kita membeli listrik dengan kapasitas tertentu (anggap saja ini bandwidth internet yang kita miliki) dari PLN. PLN tidak akan membeda-bedakan apakah listrik itu akan digunakan untuk menyalakan TV, AC, kipas angin, kulkas, charge laptop, charge smartphone, dst.

Bayangkan kalau PLN menentukan tarif yang berbeda-beda untuk peralatan yang berbeda. Mari kita bayangkan skenario berikut: tarif listrik untuk charge smartphone itu lebih mahal daripada untuk menyalakan kulkas dan AC. Untuk charge smartphone pun tarifnya berbeda-beda antar merk. Mungkin karena Samsung sedang ada promo dengan PLN, kalau menggunakan smartphone Samsung tipe Samsung Galaxy Note, akan bisa charge smartphone tipe tersebut secara gratis. Sedangkan pengguna smartphone tipe dan merk lain harus membayar tarif listrik normal.

Dengan ini para pembuat smartphone merk lain yang mungkin dana marketing-nya tidak sebesar Samsung, akan semakin kesulitan dalam berkompetisi. Tapi hal serupa sedang terjadi di dunia internet, dengan skenario yang mirip seperti ilustrasi di atas:

“Wah, kecepatan untuk mengakses website video itu memang lebih pelan ketimbang website berita. Kalau ingin kecepatan mengakses video yang lebih tinggi, harus bayar ekstra. Sekedar informasi tambahan, kami sedang ada promosi nih dengan anak perusahaan kami, yaitu kloninganyutub.com dan kloningannetflix.com, kalau nonton video di sana akan kami gratiskan biayanya dengan kecepatan akses lebih tinggi. Jadi mulai sekarang nonton video di sana saja ketimbang di YouTube atau Netflix. Lebih cepat dan lebih murah, loh.”

Image result for internet like cable net neutrality
Suka nonton video ya? Suka dengar musik juga? Harus bayar ekstra ya 😉

Boom, good-bye kompetisi sehat.

Tanpa netralitas net, maka akses, harga, dan kecepatan internet bisa dan akan didiskriminasi berdasarkan konten, dan siapa penyedianya.

Para penyedia layanan internet juga berusaha untuk mendaptkan uang lebih dari penyedia konten.

Dari sisi penyedia konten, penyedia layanan internet bisa meminta bayaran lebih agar layanan penyedia konten tidak dihambat. Contohnya Netflix, yang harus membayar Comcast, karena layanan menonton Netflix untuk pengguna Comcast pelan-pelan menjadi sangat buruk.

Kualitas video Netflix sebelum dan sesudah membayar Comcast, dibandingkan dengan penyedia layanan internet lainnya.

Dalam kasus ekstrim, bayangkan jika ada media propaganda yang berhasil punya dana dan koneksi untuk bekerja sama dengan penyedia layanan internet agar para pengguna internet di negara itu diarahkan ke konten propaganda mereka dengan embel-embel “gratis” dan “lebih cepat”.

Bagaimana keadaan netralitas net di Indonesia sekarang ini?

Singkat kata: tidak ada. Para penyedia layanan internet di Indonesia sudah secara terang-terangan menolak netralitas net.

Pokoknya kami tidak mendukung net neutrality.

Alexander Rusli, Ketua Umum Asosiasi penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), 02 Desember 2014. Sumber: Operator Tolak Net Neutrality.

Sikap yang ditunjukkan operator dengan menolak Net Neutrality secara tegas itu bagus. Kalau Net Neutrality diterapkan, kasihan operator. Sebaiknya diambil jalan tengah untuk menemukan model bisnis ideal antara operator dan Over The Top (OTT) yakni membangun kemitraan yang mutual respect dan benefit.

Nonot Harsono, Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), 4 Desember 2014. Sumber: Operator Wajar Tolak Net Neutrality?

Indosat sangat tegas menolak yang namanya net neutrality.

Alexander Rusli, CEO Indosat, 24 April 2015. Sumber: Di Indonesia, Internet Tak Perlu Adil dan Setara?

Sebagai pelaku bisnis, wajar kalau para penyedia layanan internet pasti ingin mendapatkan untung yang sebesar-besarnya. Bisa dimengerti kalau para penyedia layanan internet merasa bahwa mereka sudah berjasa dalam pengembangan infrastruktur internet dan mereka “geram” melihat para perusahaan teknologi seperti Google, Facebook, Netflix, Tokopedia, Go-jek, dst yang berhasil membuat kerajaan bisnis yang bernilai milyaran dolar di atas infrastruktur internet tersebut.

Sekarang ini internet sudah menjadi kebutuhan mendasar manusia seperti air dan listrik. Sebaiknya bebas dari konflik kepentingan seperti yang disebutkan di atas. Banyak kok perusahaan yang menggunakan air dan listrik untuk bisnisnya, tetapi perusahaan air dan listrik sebagai utilitas umum, tidak meminta bagian dari keuntungan warung dan restoran misalnya.

Internet yang cenderung netral selama ini sudah membantu ekonomi digital Indonesia selama belasan tahun terakhir. Memberikan kesempatan yang sama besar untuk para start-up lokal untuk bersaing dengan raksana perusahaan teknologi dari luar negeri yang sudah lebih senior dan jauh lebih tebal kantongnya.

Jadi artinya buat saya sebagai konsumen apa?

Seandainya netralitas net benar benar hilang, maka kita sebagai konsumen akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan produk yang terbaik. Maksudnya? Begini, sekarang ini kita bisa menikmati hasil dari perkembangan teknologi yang luar biasa karena semua pemainnya berlomba-lomba untuk memberikan produk yang paling baik, paling cepat, paling efisien, paling segala-galanya, karena itu satu-satunya cara efektif untuk mendapatkan konsumen.

Kita sebagai konsumen memiliki kekuatan untuk memilih layanan yang kita paling suka. Kekuatan kita sebagai konsumen ini yang akan hilang jika netralitas net juga hilang.

Di bagian pembukaan saya sudah cerita sedikit tentang Google dan Facebook yang berhasil menang dari para pendahulunya yang lebih senior. Hal itu hanya bisa terjadi karena netralitas net. Bayangkan versi skenario berikut yang lebih lokal:

Di tahun 2007, ada dua anak muda yang bermimpi membuat marketplace online. Karena pengalaman mereka bertransaksi online di Indonesia pada masa itu sangat buruk, banyak penipuan di mana-mana. Setelah berjuang dan berhasil mendapatkan investasi, di tahun 2009 mereka meluncurkan marketplace mereka yang bernama Tokopedia. Di tahun pertama mereka launching, Telkom bekerjasama dengan eBay (salah satu e-commerce terbesar dunia), juga meluncurkan Plasa.com.

Tanpa netralitas net, Telkom sebagai salah satu penyedia internet terbesar di Indonesia bisa saja memutuskan untuk mendahulukan pengguna internet mereka untuk lebih cepat dalam mengakses Plasa.com, bahkan mungkin akses ke Plasa.com digratiskan, membuat pelan akses ke Tokopedia, dan bahkan bisa meminta bayaran ke Tokopedia agar para pengguna internet Telkom bisa mengunjungi Tokopedia tanpa hambatan.

Di masa itu, hal ini bisa cukup untuk menghancurkan perusahaan bau kencur seperti Tokopedia. Jika hal ini dulu benar-benar terjadi, maka masyarakat Indonesia sekarang akan kehilangan salah satu produk digital terbaiknya.

Padahal, jika bersaing secara adil, hasilnya ya seperti sekarang ini. Para pengguna internet Indonesia terbukti lebih suka menggunakan Tokopedia ketimbang Plasa.com.

Bayangkan jika sebenarnya sekarang ini sedang ada anak-anak muda lainnya yang sedang mengembangkan produk-produk digital kelas dunia lainnya dan harus gagal karena netralitas net sudah tidak ada lagi. Hanya perusahaan berduid banyak dan punya banyak koneksi saja yang akan bisa sukses, dan belum tentu produk yang dikembangkan adalah yang terbaik, karena mereka tidak memiliki saingan.

Ketika persaingan sehat terjadi, kita sebagai konsumenlah yang akan menang, karena itu netralitas net sangatlah penting untuk diperjuangkan.

Sekarang bagaimana?

Jujur saja saya sendiri belum memiliki jawabannya. Saya melihat banyak masyarakat Indonesia (bahkan dunia) yang masih belum mengerti dan peduli mengenai hal ini. Menulis tentang hal ini adalah cara saya untuk mencoba menjelaskan dan menumbuhkan diskusi tentang hal ini.

So, mari kita berdiskusi 🙂


Sebelum kamu pergi

Kalau kamu suka dengan artikel ini, gunakan tombol-tombol di bawah untuk membagikan artikel ini ke teman-teman kamu, dan daftarkan email kamu untuk mendapatkan update jika ada artikel baru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *