Kembali ke RSS

Dulu, ada sebuah produk keren namanya Google Reader. Aplikasi web yang berguna banget untuk mengumpulkan update dari website-website yang kita ikuti di satu tempat dengan menggunakan teknologi RSS.

Di masa itu, saya adalah pengguna setia produk tersebut, karena dengan menggunakan Reader, saya hanya perlu monitor satu tempat untuk membaca berita / webcomic / blog / dsb.

Contoh tampilan Google Reader. Sumber konten yang dilanggani pada sebelah kiri, dan konten di sebelah kanan.

Namun karena Google punya rencana lain, akhirnya layanan Google Reader ditutup pada tahun 2013. Keputusan ini sempat mengundang debat yang cukup berkepanjangan.

Sejak saat itu, saya pun mulai tidak menggunakan RSS reader. Mengikuti banyak orang pada umumnya, konsumsi berita/update saya terfokus melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, serta forum diskusi online seperti Slashdot, Digg (sekarang sudah berubah konsep), dan Reddit.

Ternyata sudah 9 tahun jadi member di Reddit.

Mesti diakui, saya sempat sangat ketagihan dengan web-web tersebut. Membaca diskusi di Digg atau Reddit sangatlah seru. Website-website tersebut juga memiliki sebuah ekosistem dan tradisi-tradisi yang sangat unik. Rasanya senang bisa menjadi bagian dari kultur online tersebut. Sebuah hal yang memang tidak bisa didapatkan dari RSS reader.

Namun biasanya jika sebuah website/komunitas menjadi sangat populer dalam waktu yang singkat, kualitas konten dan diskusinya menurun atau berubah drastis. Ada bagusnya, ada jeleknya.


Di media sosial, ada rasa lelah dan capek, terutama ketika musim politik sedang panas 2 tahun terakhir ini. Isi timeline banyak saling menghujat. Berita nasional pun, sepertinya demi mengejar klik dari demografi-demografi tertentu, mengeluarkan berita-berita kompor dengan kualitas yang sering harus dipertanyakan.

Hal ini semakin diperparah dengan algoritma timeline di media sosial seperti Facebook yang disesuaikan dengan kebiasaan dan minat masing-masing user.

Algoritma seperti ini kini sering dituduh menciptakan filter bubble dan echo chamber yang cenderung membuat orang semakin tertutup pemikirannya. Kenapa? Contoh saja, ada orang yang memang cenderung memiliki pandangan yang konservatif. Orang tersebut akan lebih sering membuka link/konten dengan pandangan yang konservatif. Melihat ini, algoritma Facebook akan lebih sering menampilkan konten-konten konservatif, baik dari iklan Facebook, maupun lingkaran pertemanan orang tersebut.

Sumber berita pun demikian, satu pihak menyuarakan satu hal, orang-orang dengan pemikiran yang serupa akan menggaungkan kembali hal tersebut, seringkali dengan dilebih-lebihkan dan tanpa verifikasi fakta.

Kombinasikan ini dengan kenyataan bahwa pada dasarnya perusahaan-perusahaan seperti Facebook menghasilkan uang dengan menjual data-data para penggunanya ke pihak-pihak yang bersedia membayar. Hal ini bisa digunakan untuk kebaikan, namun juga bisa digunakan untuk media propaganda.

Image result for mark zuckerberg smile gif meme

Fenomena seperti ini terjadi di mana-mana. Sudah banyak pihak yang mengkritik dan mempermasalahkan penyalahgunaan data dan personalisasi ini dengan kejadian-kejadian seperti Brexit, terpilihnya Donald Trump, dan kalau yang terjadi di Indonesia, pilgub Jakarta 2017.

Bahkan Tim Berners-Lee, sang bapak pencipta internet pun memiliki kecemasan bahwa teknologi ciptaan timnya ini bisa dijadikan senjata oleh manipulator-manipulator handal.

The inventor of the world wide web always maintained his creation was a reflection of humanity – the good, the bad and the ugly. But Berners-Lee’s vision for an “open platform that allows anyone to share information, access opportunities and collaborate across geographical boundaries” has been challenged by increasingly powerful digital gatekeepers whose algorithms can be weaponised by master manipulators.


Karena rasa lelah dan cemas inilah saya teringat kembali dengan RSS reader. Saya pribadi sudah tidak ingin terlalu banyak campur tangan algoritma dalam menentukan hal-hal apa saja yang bisa saya baca.

Saya mencari alternatif dari Google Reader, dan menemukan cukup banyak alternatif, seperti Feedly, The Old Reader, Flipboard, Inoreader, Bazqux, dan banyak lainnya.

Namun pilihan saya jatuh kepada Feedbin. Saya merasa paling cocok dari sisi UI/UX, serta fitur-fiturnya. Yang terpenting adalah fitur untuk otomatis mendapatkan artikel lengkap dari RSS yang ada (sekarang ini seringkali penyedia konten hanya memberikan ringkasan pada RSS-nya)

Tampilan utama Feedbin.

Jadi sekarang ini saya mencoba untuk lebih membagi waktu untuk membaca berita lebih banyak melalui “koran digital” saya, yaitu kumpulan RSS saya di Feedbin. Faktor kurasi memang ada, karena saya sendiri yang menentukan sumber mana saja yang saya langganan, namun saya berusaha untuk berlangganan dari beragam sumber-sumber berita yang terpercaya. Yang terpenting adalah dalam penyajiannya, berita akan tampil secara kronologis, tanpa ada algoritma yang njelimet.

Menggunakan RSS reader juga bukan berarti saya tidak menggunakan media sosial lagi, loh. Saya masih menjadi pengunjung setia Reddit setiap harinya. Hanya saja saya berusaha untuk lebih bijak saja mencerna dan menggunakannya. Bagaimanapun layanan seperti Facebook masih sangat berguna untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarga jauh.

Saya hanya berharap dengan kembali menggunakan RSS reader, hal ini bisa menjadi penyimbang yang bagus dalam mendapatkan informasi.


Beberapa artikel tambahan yang menarik mengenai topik ini:

  1. Wawancara dengan pencipta pop-up ads membahas tentang internet 10 tahun terakhir ini. Salah satunya membahas tentang iklan dan model bisnis internet.

    For me, the moment where it went wrong was when we failed to realize that there were two kinds of advertising, and that one of them might be healthy for the internet, and the other one probably wasn’t.
    […]
    For me, the distinction is intention versus a graphic psychographic. So when someone’s saying, “Hey, I’m looking for this, would anyone like to help me?” and you help them, I feel like that, generally speaking, is a pretty ethically sound business model. It’s one that works reasonably well.
    […]
    As soon as you’re saying, “I need to put you under surveillance so that I can figure out what you want, so I can meet your needs better.” I think, at that point, you really have to ask yourself the question, Am I in the right business? Am I doing this the right way?

  2. Sebuah artikel yang mendukung ide penggunaan algoritma pada newsfeed. Walaupun bukan berarti implementasinya sekarang ini sudah bagus.

    if you’ve friended 300 people, and each of them post a couple of pictures, tap like on a few news stories or comment a couple of times, then, by the inexorable law of multiplication, yes, you will have something over a thousand new items in your feed every single day.
    […]
    This overload means it now makes little sense to ask for the ‘chronological feed’ back. If you have 1,500 or 3,000 items a day, then the chronological feed is actually just the items you can be bothered to scroll through before giving up, which can only be 10% or 20% of what’s actually there.
    […]
    This is the logic that led Facebook inexorably to the ‘algorithmic feed’, which is really just tech jargon for saying that instead of this random (i.e. ‘time-based’) sample of what’s been posted, the platform tries to work out which people you would most like to see things from, and what kinds of things you would most like to see.
    […]
    Unavoidable as it seems, though, this approach has two problems. First, getting that sample ‘right’ is very hard, and beset by all sorts of conceptual challenges. But second, even if it’s a sucessful sample, it’s still a sample.


Sebelum kamu pergi

Kalau kamu suka dengan artikel ini, gunakan tombol-tombol di bawah untuk membagikan artikel ini ke teman-teman kamu, dan daftarkan email kamu untuk mendapatkan update jika ada artikel baru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *